Cerpen Persahabatan

Oleh Nadjib Kartapati Z
Penulis adalah penyair, dan penulis skenari terbaik Festival Sinetron Indonesia 1998, Penulis Skenario FTV Terpuji Festival Film Bandung 2015.

Apa boleh buat, terpaksa keluarga saya harus berboyong ke tempat di mana saya bertugas, pada sebuah desa yang sepi, sekitar enam kilometer dari kota kecamatan. Kami menyewa sebuah rumah kecil dan sederhana, tak jauh berbeda dengan rumah-rumah orang desa lainnya. Untung kami cuma bertiga: saya, istri saya, dan si Budi, anak kami yang baru berusia lima tahun.

Seperti juga guru-guru SD lainnya yang datang dari kota, saya mendapat penghormatan yang lumayan dari orang-orang kampung. Profesi pendidik tampaknya punya nilai tersendiri bagi masyarakat desa, sehingga kami tidak merasa asing hidup dalam suasana sepi. Keramahan orang-orang kampung terasa begitu ikhlas dan polos.

Dalam waktu singkat kami sudah punya banyak kenalan. Si Budi, anak kecil itu, bahkan telah mempunyai seorang sahabat akrab yang istimewa. Saya sebut istimewa karena sahabat si Budi justru seorang lelaki yang usianya sudah sangat tua. Dialah Pak Amir, tetangga belakang yang hidup sebatangkara, sonder istri dan anak, juga tanpa famili seorang pun.

Saya tidak tahu asal-usul orang tua itu. Dan rasanya saya memang tidak punya kepentingan untuk mengetahui asal-usulnya. Saya hanya tahu bahwa orang tua itu setiap pagi selalu pergi ke pasar menjual dagangannya yang selalu berganti-ganti. Suatu pagi ia menjual bambu atau gedek, pagi yang lain ia bawa kayu bakar. Yang jelas, semua yang dijualnya merupakan barang-barang yang bisa ia peroleh tanpa modal uang. Untuk mendapatkan bambu itu ia sering menjual tenaganya, misalnya dengan menumbangkan bambu-bambu di kebun orang dengan upah berupa bambu juga. Sepan¬jang pengamatan saya, kalau ia masih punya persediaan pangan atau keperluan sehari-hari berupa minyak, tembakau, dan lain-lain, bambu miliknya itu ia proses menjadi gedek lebih dulu agar bisa laku lebih tinggi. Bila perbekalan hidupnya sudah habis atau menipis, Pak Amir akan menjualnya sejak secara mentah.

Pak yang namanya Amir itu selalu saja mampir ke rumah saya setiap petang manakala ia kembali dari pasar, hanya buat memberikan jajan kepada si Budi. Tentu saja Budi jadi ketagihan. Kebia¬saan ini membuat Budi selalu menghadangnya di jalan depan rumah setiap petang hari. Dan hal itulah yang membikin istri saya sering marah.
"Jangan dibiasakan anak itu, Pak. Tidak baik!" kata istri saya.
"Kenapa?" tanya saya.
"Kenapa? 'Kan kasihan Pak Amir. Ia itu orang miskin. Kitalah yang seharusnya memberi dia. Bukan sebaliknya!"
"Tapi bagaimana saya mesti melarang? Toh itu kemauan Pak Amir sendiri."
"Benar. Tapi kasihan, 'kan? Ia mesti repot memikirkan anak kita. Apa kau tidak malu, anakmu dijamin orang tak punya?"
"Ah, biarlah! Biarkan orang tua itu senang dengan kemauannya sendiri," jawab saya enteng.
Tiba-tiba saya mendengar suara Budi dari pekarangan rumah.
"Terima kasih, Kek. Besok Budi belikan kembang gula lagi ya, Kek!" kata anak itu dengan nada girang.
Saya sudah menduga bahwa Pak Amir pasti datang seperti biasanya, memberikan jajan kepada Budi. Saya menghambur ke luar rumah. Orang tua itu tengah mencium pipi anak saya. Dan ia agak tergugup melihat kemunculan saya.
"Oh, Mas Guru.... di rumah saja?" tanyanya basa-basi.
"Ya, Pak. Baru pulang dari pasar?
Mendadak istri saya ikut ke luar. Dengan wajah yang kurang menyenangkan ia berkata, "Pak, jangan biasakan anak ini. Tuman nanti," ucap istri saya.
"Ah, tak apa-apa. Saya memang senang sekali dengan anak kecil, senang sekali kepada Nak Budi. Izinkanlah saya memberinya. Saya merasa senang kalau ia senang."

Saya berpaling ke arah istri saya. Kebetulan ia pun sedang melirik saya. Saya tersenyum. Istri saya tampak kecut.
"Sudah, Mas Guru, saya pulang dulu," kata Pak Amir mohon diri.
Di belakang kami si Budi asyik membuka bungkusan pemberian Pak Amir. Dan ia melonjak kegirangan saat mengetahui isinya. Satu plastik kecil permen karet dan dua potong roti. Ya Tuhan! Alang¬kah baik orang tua itu.
"Nah! Kau hitung berapa Pak Amir harus mengeluarkan uang untuk anak kita?" kata istri saya. "Permen dan roti ini dibeli dengan uang, Pak. Bagi kita memang tak banyak. Tapi untuk Pak Amir bisa sangat berarti."
"Yah, besok kita beri dia uang, Bu. Hitung-hitung untuk mengganti jajan si Budi."
"Tapi jangaĆ® bikiĆ® si Budi tuman Pak! Akibatnya tak baik untuk anak itu,” bantah istri saya.
"Kalau maunya Pak Amir begitu, apa mesti kita cegah? Kau seharusnya bersyukur si Budi betah tinggal di desa yang sepi ini. Dan Pak Amirlah orang yang punya andil besar dalam membuat si Budi betah tinggal di desa...."

Sore berikutnya, ketika Budi menerima satu plastik wafer murahan, saya buru-buru menjejalkan uang ke saku Pak Amir. Tetapi orang tua itu menolak dengan wajah tegang, seolah-olah memprotes bahwa kasih sayangnya tidak semurah jumlah uang yang saya berikan. Saya malah jadi takut Pak Amir tersinggung.

"Sungguh saya tidak mengharapkan ini, Mas Guru," katanya dengan wajah yang keruh. "Saya hanya butuh pengertian Mas Guru. Maka biarkan saya membawakan Nak Budi oleh-oleh...."
Demikianlah yang terjadi setiap petang. Si Budi memang makin ketagihan. Pak Amir selalu memenuhi setiap pesan Budi. Padahal, anak itu sudah dapat berpesan macam-macam. Ia kenal betul berbagai jenis makanan yang dijual di kota. Sore kemarin Pak Amir membawakan sepuluh buah jeruk manis, sore ini biskuit dan sejumlah kembang gula, dan entah apa lagi sore besok. Keakraban si Budi dengan Pak Amir kian menjadi-jadi, sehingga anak itu enggan bermain dengan teman seusianya.
Dan bila Pak Amir tidak pergi berdagang, ia selalu membawa Budi bermain-main seharian suntuk. Kami juga tak habis mengerti kenapa kasih sayang orang tua itu ditumpahkan habis-habisan kepada anak kami, padahal tidak sedikit anak seusia Budi di sekitar rumahnya. Mula-mula kami menyangka Pak Amir ingin jual muka terhadap kami dengan cara berbuat kelewat baik terhadap si Budi. Tetapi anggapan buruk kami tidak beralasan setelah akhirnya kami rasakan bahwa Pak Amir tidak mengharapkan apa-apa dari kami.
Sejak malam hari si Budi sudah tahu esok Pak Amir pergi ke kota atau tinggal di rumah. Jika Pak Amir tidak ke kota, anak kami bangun lebih awal dari biasanya. Buru-buru ia minta mandi dan minum susu untuk kemudian pergi ke rumah sahabatnya. Sering ibunya mesti menyusul bila tiba waktu makan siang, tetapi juga sering kecewa karena ternyata anak itu sudah makan di rumah Pak Amir. Bahkan beberapa kali si Budi minta dibawakan baju dan celana oleh ibunya, dengan alasan ia akan mandi bersama lelaki tua yang dipanggilnya kakek itu.
Saya pernah melihatnya secara sembunyi-sembunyi apa yang mereka lakukan jika sedang berdua. Sebuah persahabatan yang aneh. Pak Amir tidak enggan-enggannya memanggul Budi di atas punggungnya yang sudah tampak reot itu. Sering juga saya lihat lelaki tua itu tak henti-hentinya menciumi dan menimang-timang Budi, sementara Budi menurut dan tetap menggelendot pada "kakek"-nya. Dan kalau Pak Amir tengah bekerja membuat gedek misalnya, si Budi dengan setia menunggui sambil bertanya ini dan itu. Juga sering saya lihat si Budi diajak ke belik yang berada di bibir sungai.
Pak Amir baru mengantar Budi pulang setelah matahari condong ke barat. Dan saban kepulangannya, anak itu selalu membawa mainan hasil bikinan Pak Amir. Entah itu berupa kitiran dari daun kelapa atau pistol-pistolan dari kayu randu.
Lama-lama istri saya bosan juga melarang. Sekarang ia hanya diam dan tak ambil pusing. Hanya sekali-sekali Budi diperingatkan agar tidak mau diajak ke kali. Tetapi dasar anak kecil, ia tak mau dengar nasihat ibunya. Bahkan dengan girangnya ia bercerita bahwa ia baru saja diajari berenang oleh Pak Amir.
"Kita tak bisa biarkan kalau orang tua itu mengajak Budi mandi di kali, Pak," protes istri saya.
"Kenapa?"
"Kenapa? Air kali itu keruh, Pak! Lagi pula banyak lintah."
"Asal tidak membahayakan, tak apalah," jawab saya. "Biarkan si Budi akrab dengan lingkungan desa. Kelak itu semua akan menjadi pengalaman indah baginya, Bu."
"Tapi saya tidak suka Pak Amir makin bebas membawa anak kita, Pak! Lama-lama si Budi akan lebih patuh kepada orang tua itu ketimbang pada kita, ayah-ibunya sendiri."
"Tampaknya kau lagi cemburu!" goda saya. "Sudahlah, Bu, yang penting anak kita senang. Toh Pak Amir tak pernah mengajari si Budi berbuat buruk."
Isteri saya memang selalu kalah, atau mengalah, bila berdebat dengan saya mengenai persahabatan si Budi dengan Pak Amir. Dan saya sendiri lebih bersikap longgar selama tidak terjadi sesuatu yang luar biasa pada diri anak kami. Dan sejauh ini memang belum pernah terjadi apa-apa, misalnya anak kami bertindak aneh dan mencurigakan. Si Budi masih seperti pada umumnya bocah berusia lima tahun. Yang membedakannya dari yang lain hanyalah bahwa sabahatnya kebetulan seorang lelaki yang sudah amat tua.
Akan tetapi, pada sore ini si Budi tampak tidak seperti biasanya. Sejak siang tadi ia sudah minta mandi ibunya. Jauh-jauh sebelum waktunya Pak Amir pulang dari pasar, si Budi sudah mencegat di jalan depan rumah. Bocah itu lupa makan siang dan bahkan tidak mau diajak tidur siang oleh ibunya. Ia duduk-duduk dan memandang ke arah timur di mana lelaki tua yang paling disayang itu datang seperti hari-hari biasanya.
"Ayolah, Budi tidur siang dulu!" bujuk ibunya. "Pak Amir tidak sesiang ini datangnya."
Budi tak mau menggubris bujukan ibunya. Bahkan ia menangis saat ditarik dengan paksa agar mau masuk ke rumah. Saya pun akhirnya ikut membujuk Budi, sebab tak baik akibatnya kalau ia sampai abai terhadap makan siang.
"Kakek berjanji akan memberikan Budi mainan mobil," kata anak itu.
Ya, Tuhan! Terharu juga hati saya mendengar kata-kata itu. Tetapi lebih terharu lagi terhadap kebaikan Pak Amir. Betapa ia telah berjanji hendak membelikan mainan mobil anak kami. Kenyataan ini serasa telah menyengat naluri kebapakan saya. Betapa saya telah abai terhadap kebutuhan anak saya, sehingga ada orang lain yang lebih mengerti akan semua itu. Apa boleh buat, kami hanya membiarkan anak kecil itu duduk di pinggr jalan.
Dari beranda rumah saya pandangi si Budi yang senantiasa mengawasi setiap orang yang datang dari arah timur. Tetapi malang bagi anak kecil itu, sebab entah kenapa Pak Amir tetap tiada kunjung datang sekalipun matahari sudah hampir mencium puncak bukit. Sekali lagi saya bujuk Budi agar mau menunggu Pak Amir dari dalam rumah saja.
"Mungkin Pak Amir pulang malam, Budi. Kakek 'kan baru belanja mencarikan mainan buat Budi. Ayolah, kita tunggu di dalam saja," kata saya membujuk.
Semula Budi tetap membandel. Tetapi mungkin karena ia sendiri tahu bahwa hari telah senja, akhirnya ia menurut saya ajak masuk ke rumah.
Malam pun tiba. Anak itu masih menanti Pak Amir sambil sebentar-sebentar menyebut mainan mobil yang dipesannya. Sementara itu, Pak Amir belum tampak kembali. Akhirnya anak kami putus asa dan lelah. Kantuk pun menyerang bocah itu, sehingga seseben¬tar ia pun menguap. Dan si Budi, atas kemauannya sendiri, beranjak ke tempat tidur dengan ekspresi wajah kecewa.
"Siapa yang bisa disalahkan kecuali dirimu, Pak," ucap istri saya dengan wajah sengsara. "Saya malu pada diri saya sendiri. Hanya mainan mobil si Budi harus menunggu belas kasih orang lain, orang tak punya pula. Kalau saja kau sedikit punya perhatian kepada kebutuhan anak kita, tentulah tak begini jadinya. Kau mau berdalih apa lagi sekarang? Hanya mainan mobil, Pak!"

Saya memang tidak bisa lagi membela diri. Saya merasa bersalah, dan karena itu hanya diam ketika istri saya mengomel macam-macam. Hati saya jadi tidak menentu. Soal Budi menunggu mainan mobil dari Pak Amir, soal Pak Amir yang tak kunjung pulang, dirangkai dengan gugatan istri saya dan rasa berdosa sebagai ayah yang abai terhadap kebutuhan anaknya, benar-benar membuat saya tak bisa tidur sepicing pun pada malam ini.

Subuh buta Budi telah bangun dan menyakan apakah Pak Amir sudah datang menyerahkan mainan mobil buatnya. Kami menjadi ingat kembali tentang Pak Amir. Keharuan pun menjerat hati saya lagi. Tiba-tiba saya jadi curiga terhadap ketidakpulangan Pak Amir tadi malam. Saya khawatir jangan-jangan terjadi halangan pada diri lelaki tua itu. Mustahil rasanya Pak Amir bermalam di kota kalau tidak terjadi hal yang luar biasa.

Atas pertimbangan itu saya pun buru-buru berlari menengok rumah Pak Amir. Tetapi ternyata rumah kecil itu masih sunyi dan terkunci dari luar. Saya berlari lagi ke jalan raya di mana kawan-kawan sepedagang Pak Amir tampak pada berangkat ke pasar. Dan saya tanya mereka tentang Pak Amir.
Tiba-tiba tubuh saya jadi gemetaran ketika seseorang memberi tahu bahwa kemarin lelaki tua yang baik hati itu telah ditangkap polisi. Kontan saya berlari pulang dan bergegas ganti pakaian. Sekian kali istri saya bertanya namun tak sepatah kata pun saya jawab. Saya menulis surat izin tidak mengajar dan segera saya serahkan kepada istri saya agar disampaikan kepada kepala sekolah. Dengan menumpang andong saya pergi ke kota.
Bergegas saya memasuki kantor pilisi dan menanyakan perihal Pak Amir.
"Saudara familinya?" tanya seorang petugas kepolisian.
"Bukan! Saya tetangganya.... Eh, di mana Pak Amir sekarang?"
"Dia ada di dalam sel tahanan. Kemarin lelaki itu ngutil di sebuah toko."
“Ngutil?”
“Iya, benar. Dia telah mencuri mainan anak-anak di toko itu.”
Ya, Tuhan! Hampir saya terjatuh mendengar berita itu. Pak Amir telah melakukan pencurian demi anak saya! Oh, alangkah terkutuknya diri saya tidak membelikannya sendiri.
Petugas itu mengantarkan saya ke ruang tahanan. Di sel yang sempit itu saya melihat Pak Amir duduk mematung.
"Oh, Mas guru...." ucapnya hambar begitu melihat kedatangan saya di mulut kamar tahanan.
"Apa persoalannya sehingga Bapak jadi begini?" tanya saya.
Pak Amir tidak segera menjawab. Kepalanya tertunduk ke lantai. Saya ulangi pertanyaan saya kembali.
"Saya telah berjanji kepada Nak Budi mau membelikannya mainan mobil. Tapi siang kemarin saya mengalami sial. Semua uang saya dicopet orang, dan saya baru sadar setelah berada di toko mainan itu," ucapnya terputus-putus. "Tapi saya tidak ingin mengecewakan Nak Budi. Sebab itu saya curi sebuah mobil-mobilan dan saya sembunyikan di dalam keranjang saya. Tapi malang... tiba-tiba seorang lelaki memangkap saya dari belakang...."

Pak Amir berhenti bicara. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Mengapa Bapak begitu sayang kepada anak saya?" tanya saya.
"Ya!" Ia mengangguk. "Limabelas tahun saya telah meninggalkan keluarga saya di seberang. Tapi sampai sekarang saya belum bisa pulang. Saya rindu....." kata-katanya terputus lagi.
Saya lihat air matanya berlinang di kedua pipinya.
"Lalu, apa hubungan dengan si Budi?" usut saya.
Dengan pandangan kosong Pak Amir menatap saya. Ia seka air matanya dengan ujung bajunya yang kumal dan kotor itu.

"Waktu itu saya meninggalkan seorang anak kecil, sekecil Nak Budi. Ia bernama Asikin, bungsu saya yang pintar dan lincah. Wajahnya mirip sekali dengan Nak Budi. Itulah sebabnya, setiap melihat Nak Budi, rasanya saya seperti melihat Asikin. Ya seperti melihat Askikin, meskipun kalau dia panjang umur sekarang tentu sudah jadi perjaka...."
Saya pandangi wajah yang penuh kerut-merut itu. Rasa haru dan dosa bertukar-tindih dalam dada saya. Tanpa sadar saya telah ikut melepas air mata.

Jakarta, 1990.
Cerpen ini kutulis tahun 1990. Dimuat di Majalah Sarinah. Tak bisa mengulasnya lebih panjang, lebih baik Anda baca sendiri saja. Kutunggu komentnya. Nuhun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar